Salam pergerakan |
Written by: Zulfian Pramuji
"Aku berpikir tentang gerakan tapi mana mungkin kalau diam?" Wiji Thukul (Tentang sebuah gerakan, 1989)
Menyoal pergerakan mahasiswa, akan
tergambar dalam imajinasi kita tentang demonstrasi, orasi yang berapi-api, dan
berbagai gerakan yang diorientasikan atas kebutuhan, keinginan serta harapan
rakyat. Menengok sejarah pergerakan di Indonesia sendiri, tercatat sejak 1928
para pemuda telah berada dalam satu koridor pergerakan melawan ketidakadilan
dan ketertindasan atau keterjajahan sehingga kita dapat mengenal beberapa
manifestasi pergerakan diantaranya seperti sumpah pemuda, organisasi budi utomo
yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa pertama dan lain sebagainya. Sehingga
dapat disepakati melalui peran para mahasiswa dari perkembangan sejarahnya,
bahwa pemuda merupakan agen perubahan dan agen kontrol yang dinilai efektif
menjadi pengendali dan momok bagi para penguasa yang semena-mena.
Kita memang harus bergerak dan tetap
bergerak melampaui batas dari wacana itu, seperti kata Wiji. Berbagai polemik
masih terus terjadi di negeri kita, tiada henti layaknya kendaraan yang setiap
harinya selalu lalu-lalang di jalan dan mengisi ruang-ruang udara kita dengan
polusi. Lalu kita bersihkan dengan sebuah gerakan penghijauan namun nampak tak
berdaya karena kita pun masih menggunakan kendaraan pribadi untuk berpergian
kemana-mana tanpa suatu tujuan yang genting. Gerakan-gerakan mahasiswa lambat
laun semakin melemah dayanya meski tidak secara signifikan. Setidaknya, ada
beberapa hal yang jika kita tengok gerakan mahasiswa hari ini, terasa mentah
atau hal itu dikarenakan tidak terhubungnya gerakan dengan kepentingan
masyarakat, yang oleh Tan malaka dalam bukunya Aksi Massa sebagai komplotan
yang bergerak diam-diam atas dasar kepentingan yang mereka buat sendiri dan
tidak terhubung dengan masyarakat "putch". Hingga akhirnya,
memunculkan banyak stigma masyarakat yang justru merasa tidak terbela atau
merasa terganggu aktivitasnya dikarenakan hanya membuat kisruh di tempat-tempat
umum yang digunakan sebagai lalu-lalang sehari-hari.
ROMANTISME SEJARAH
GERAKAN MAHASISWA 98
Meski ada banyak gerakan-gerakan
mahasiswa yang telah dimulai sebelum tahun 98 yang juga memiliki daya kekuatan
dahsyat dan berhasil merubah kondisi sesuai tuntutan, tahun 98 kini terasa
seperti "referensi" bagi gerakan-gerakan mahasiswa saat ini. Kita
bisa melihat hal tersebut dari berbagai sisi. Misal, banyaknya pesan-pesan afirmasi
melalui gambar mahasiswa menduduki gedung DPR ketika menyerukan suatu aksi
jalanan saat ini, atau menggaung gaungkan keberhasilan aksi 98 yang memang saat
itu seluruh elemen masyarakat bersatu diberbagai daerah dan serentak bergerak
merangsek pertahanan politik orde baru hingga akhirnya berhasil lengser, bahkan
menjadi sebuah keinginan para massa yang turun ke jalan mengalami kejadian
layaknya gerakan mahasiswa 98 yang penuh dengan kekacauan, huru-hara dan
tragedi tragedi yang memilukan. Padahal, setiap zaman sangatlah berbeda dari
situasi maupun kondisi.
Coba kita tarik kebelakang Seperti hadirnya UU tentang normalisasi kehidupan dan lingkungan kampus yang diterapkan oleh rezim ORBA pasca MALARI 1974 merupakan salah satu bentuk represifitas dan penjegalan kebebasan bagi mahasiswa dalam memahami politik dan merasakan iklim demokrasi. Akan tetapi justru pada saat itu, mahasiswa justru menyiasatinya dengan kreativitas mereka dalam upaya memahami politik dan menelanjangi borok rezim saat itu. Sehingga pada akhirnya mereka mampu menghimpun kekuatan yang sangat besar, yang didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan akhirnya berhasil menciptakan reformasi bagi sistem pemerintahan. Artinya, terdapat suatu proses yang panjang untuk melahirkan suatu kesadaran kolektif dan akhirnya timbul rasa senasib seperjuangan.
Baca Juga: Pasal yang kontroversial dalam RKUHP
MEDIA MASSA SEBAGAI REFERENSI PERGERAKAN
Menarik sekali ketika media massa
menjadi tolok ukur dari sebuah landasan pergerakkan, yang akhirnya bisa
mengklaim bahwa apa yang kini dibawa pada jawatan aksi dengan barisan massa dan
orasi lantang merupakan aspirasi masyarakat. Jika hal tersebut terjadi, maka
segala bentuk relasi relasi terhadap kekuasaan mesti musnah, dan para jurnalis
lebih mementingkan penyaluran informasi yang objektif bukan subjektif atau
bahasa lainnya berpihak pada kebenaran yang sesungguhnya serta kepentingan
masyarakat luas. Artinya, bahwa media massa merupakan sarana yang riskan
terhadap suatu kepentingan yang berupaya untuk mengendalikan massa sesuai apa
yang hendak diciptakan. Yaitu keuntungan.
Berangkat dari teori logika sosial
Menurut Pierre Bourdieu, logika sosial konsumsi kemudian
tidak tercermin dari kepemilikan secara individual ‘nilai guna’ barang
atau pelayanan (logika kepuasaan), tetapi harus
dilihat dari logika produksi dan manipulasi
yang berwatak sosial. Korporatokrasi sebagai
gambaran kekuasaan mampu mengolah kekuasan
dan kepentingannya melalui media-media sebagai alat propagandanya. Tak
hanya memberikan propaganda bahwa barang yang diproduksi pantas dan layak
dibeli tetapi juga sekaligus mengarahkan nalar dan juga habitus bahwa budaya konsumerisme
adalah sesuatu benar adanya dan tidak harus dipersoalkan. Dari sinilah, celah
yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk mengendalikan massa. Karena
media massa melalui propagandanya, berhasil menciptakan ketergantungan dan
melupakan bahwa penggalian informasi yang sebetulnya bisa didapatkan dengan
survey secara langsung dan mendasarinya dengan keresahan yang dirasakan
bersama-sama. Bukan karena media yang menggorengnya.
Meski begitu, media massa juga perlu
digunakan. Mengingat bahwa tidak semua media massa terjangkit virus
keberpihakan kepada salah satu pihak yang bisa memberikan untung lebih. Akan
tetapi, bukan sebagai sumber primer bagi suatu landasan pergerakan, tetapi
sebagai sumber sekunder yang bisa digunakan sebagai bahan tambahan dalam
menganalisis problematika yang sedang terjadi.
BAGAIMANA SOLUSINYA?
Sebagai pihak yang telah mendapat
julukan sebagai agen perubahan dan agen kontrol, mahasiswa perlu melakukan
gerakan yang berorientasi pada peng-edukasian terlebih dahulu. Jika kini kita
masih terjebak dengan kejayaan masa lalu atau romantisme sejarah, dan termakan
oleh dominasi wacana yang diciptakan melalui media-media massa, maka yang perlu
kita lakukan adalah sebuah penyadaran bahwa sekarang adalah pentingnya sikap
skeptisis terhadap berbagai narasi yang ada dan zaman kita adalah sekarang.
Kita pantas untuk bersama-sama menorehkan tinta dalam sejarah dan apa yang
telah terjadi di masa lalu merupakan suatu refleksi serta referensi bagi kita
dalam melakukan suatu perubahan. Agar masa lalu yang pahit tidak lagi terulang
kembali.
kita mampu mengalahkan kekuatan
propaganda media massa dengan media massa juga. Melakukan perlawanan secara
masal melalui media massa atas narasi yang menggiring pada suatu kondisi yang
diinginkan oleh pihak tertentu dan tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan
masyarakat. Meski akan ada banyak badai yang lebih besar saat menyuarakan
kebenaran, maka kita dapat Mengingat tokoh aktivis yang pantang untuk tunduk,
Soe Hoek Gie, yang lebih memilih diasingkan dari pada harus menyerah pada
kemunafikan.
Artinya bahwa kiranya kita memang
mengidam-idamkan suatu pergerakkan dengan kesadaran kolektif, maka kita perlu
membangun kembali semangat yang sama dengan pergerakan-pergerakan di masa lalu
tetapi dengan cara yang berbeda. Dengan warna kita sendiri, dengan kreativitas
kita sendiri.